Bolehkan Self Diagnosis?
- Aksara Teduh
- Dec 17, 2019
- 2 min read

Tindakan meyakini bahwa diri sendiri menderita suatu gangguan atau penyakit, dikenal dengan self-diagnosis. Walau Anda merasa menunjukkan gejala psikologis tertentu, mendiagnosisnya sendiri merupakan tindakan yang berbahaya. Risiko dan bahaya self-diagnosis bisa muncul, karena belum tentu Anda benar-benar menderita gangguan mental yang Anda yakini.
Setidaknya, terdapat dua kerugian dan bahaya self-diagnosis terhadap gangguan mental, yang belum tentu Anda alami. Kedua bahaya self-diagnosis ini, membuat Anda berisiko mengalami salah diagnosis (misdiagnosis), serta salah penanganan.
1. Risiko misdiagnosis
Bahaya self-diagnosis pertama adalah risiko misdiagnosis, yang akan berdampak negatif pada diri sendiri. Misalnya, ada seseorang yang melakukan self-diagnosis bahwa ia menderita gangguan kecemasan. Padahal, jika ia mau mencari pertolongan dokter, ada kemungkinan lain berupa gejala fisik yang ia alami. Bisa saja, yang dialaminya bukanlah gangguan mental, melainkan penyakit fisik yang harus diobati, seperti kondisi aritmia.
Karena tidak segera mencari bantuan profesional, dan melakukan self-diagnosis bahwa ia mengidap gangguan kecemasan, individu tersebut berisiko untuk melewatkan penanganan untuk kondisi aritmia atau gangguan irama jantung.
Ada banyak kriteria yang harus terpenuhi oleh seseorang, agar bisa didiagnosis oleh ahli jiwa, bahwa ia mengidap gangguan mental tertentu. Gejala gangguan mental yang satu, dengan gangguan jiwa lain, juga kerap memiliki kesamaan. Bagaimanapun, self-diagnosis, adalah cara yang salah untuk dilakukan.
2. Risiko kesalahan dalam penanganan
Bahaya self-diagnosis kedua, adalah risiko terjadinya kesalahan cara Anda menangani gangguan, yang belum tentu benar-benar dialami. Misalnya, Anda berisiko mengonsumsi obat ilegal. Obat-obatan tersebut, selain ilegal, juga barangkali menimbulkan efek samping, interaksi obat, kesalahan dalam cara konsumsi, hingga kesalahan dosis.
Anda juga tidak boleh mengonsumsi obat orang lain, yang tidak bisa dikonsumsi oleh semua orang. Satu jenis obat mungkin aman dikonsumi rekan Anda, namun belum tentu hal tersebut berlaku juga bagi diri Anda. Jangan konsumsi obat, tanpa adanya instruksi dari dokter.
Tak hanya itu, bahaya self-diagnosis lainnya adalah membuat Anda menunda berkonsultasi dengan ahli kejiwaan, dan mendapatkan penanganan yang paling tepat.
Melakukan self-diagnosis, dan meyakini diri sendiri menderita gangguan mental tertentu, tidak membantu Anda untuk pulih. Malah sebaliknya, tindakan tersebut berisiko memperburuk kondisi kejiwaan Anda.
Informasi yang berlimpah di Internet, seperti gejala-gejala gangguan mental tertentu, kuis mengenai kesehatan mental, atau informasi obat penyakit mental, hanya bisa Anda jadikan sebagai acuan untuk menemui psikolog atau psikiater.
Walau memahami gejala atau menunjukkan hasil kuis tersebut dapat berguna, diagnosis hanya boleh dilakukan oleh para ahli. Sebab, psikolog dan psikiater memang berkompeten, memiliki pengetahuan, dan telah menjalani serangkaian pelatihan, untuk memahami kondisi kejiwaan seseorang. Selain itu, mereka lebih objektif dalam menyelami permasalahan yang tengah mendera Anda.
Informasi dari Internet dan media tidak dapat digunakan, sebagai cara untuk melakukan self-diagnosis terhadap gangguan mental (maupun penyakit fisik), yang belum tentu benar-benar Anda idap. Meningkatkan awareness terhadap kesehatan mental itu penting, sangat diperlukan. Hanya saja, membekali diri dengan pengetahuan, tidak sama dengan melakukan self-diagnosis.
Informasi dan pengetahuan dari Internet dan media, seharusnya hanya Anda jadikan sebagai dorongan untuk mencari bantuan profesional. Berkonsultasi dengan ahli kejiwaan dan menemui dokter, adalah satu-satunya langkah untuk mengetahui diagnosis yang akurat, serta mendapatkan penanganan yang tepat.
Reporter dan Penulis : Babby Brissa
Comments