Stigma dan Rendahnya Pengetahuan Tentang Kesehatan Mental
- Aksara Teduh
- Dec 18, 2019
- 2 min read

“Mbak Nunung setiap hari kerjanya cengengesan, kok bisa depresi, kok enggak percaya,” ujar hakim Djoko Indiarto menanggapi laporan dokter dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta Timur, Henry Taruli Tambunan, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (23/10/2019) dikutip dari tirto.id.
Pernyataan semacam itu seharusnya tidak keluar dari seorang hakim, apalagi dilontarkan dalam forum terbuka karena berpotensi memperkuat stigma. Nantinya, bisa jadi orang-orang dengan gangguan mental enggan berobat karena dikenal periang. Respons negatif seorang hakim terhadap masalah depresi Nunung Srimulat adalah gambaran nyata minimnya edukasi soal kesehatan mental di masyarakat, bahkan untuk kalangan berpendidikan tinggi.
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), masalah kesehatan jiwa tahun 2018 naik dibandingkan 2013. Prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat 0,03 persen. Bahkan, persoalan kesehatan jiwa seperti depresi juga dialami oleh kaum remaja. Data lain dari Sistem Registrasi Sampel (SRS) memperlihatkan survei tahun 2016 tentang penyebab kematian nasional. Hasilnya, pada tahun 2016 terdapat 1.800 kasus kematian di Indonesia akibat bunuh diri.
Melihat tren kenaikan gangguan mental di Indonesia, angka kematian akibat bunuh diri bisa jadi ikut meningkat jumlahnya. Penyebabnya antara lain karena rendahnya tingkat pendidikan, jumlah tenaga kesehatan yang minim, dan stigma yang dibentuk oleh masyarakat tentang orang dengan gangguan mental. Stigma muncul karena edukasi dan pengetahuan tentang kesehatan mental yang minim. Meskipun seseorang memiliki pendidikan tinggi, belum tentu edukasi kesehatan mentalnya bagus.
Stigma yang sering berkembang di masyarakat, yaitu orang yang mengalami gangguan mental dinilai gila, tidak bisa sembuh, atau kurang pengetahuan agama. Padahal sebenarnya, gangguan mental adalah karena kondisi medis di otak. Seseorang yang mengalami gangguan mental bukan tidak mau merasa senang atau tidak mau berjuang, tetapi secara biologis otak mereka kesulitan untuk merasakan kesenangan tersebut. Karena stigma yang berkembang itulah, membuat banyak orang enggan mencari pertolongan atau pengobatan.
“Stigma gangguan jiwa itu mengganggu untuk mencari bantuan, terus menyebabkan dia terisolasi, terasing, terus merasa tidak ada harapan. Sehingga stigma ini bukan hanya menghalangi pencarian bantuannya, tetapi juga makin bikin orang suicidal (memikirkan bunuh diri) dalam prosesnya,” ujar Benny Prawiro, koordinator komunitas pencegahan bunuh diri Intro The Lights, dikutip dari voaindonesia.com
Kesehatan mental kini kian menjadi isu penting yang sering dibahas. Melawan stigma negatif yang berkembang di masyarakat merupakan salah satu fokus untuk memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa kesehatan mental juga merupakan hal yang sangat penting. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melawan stigma negatif di masyarakat, antara lain:
· Bicara secara terbuka tentang fakta-fakta seputar kesehatan mental di kehidupan sosial. Akan tetapi, hindari berbagai informasi yang belum dimengerti untuk mengantisipasi pembicaraan tidak berdasar dan hanya mengulas mitos.
· Perdalam isu kesehatan mental dari sumber tepercaya, baik dari praktisi (psikolog/psikiater), literatur, workshop, atau berbagai sumber ilmiah lainnya.
· Membangun kesadaran bahwa isu kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Selain itu, menyebarkan informasi valid tentang kesehatan mental juga penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu kesehatan mental.
· Membangun jejaring dengan para pejuang kesehatan mental, baik social worker, pemangku kebijakan, akademisi, praktisi, hingga pihak mana pun yang menggunakan layanan kesehatan mental.
Reporter dan Penulis :Afrilia Sekar
댓글